shantoy hades
find me here also
  • home
  • stories
  • gallery
  • projects
  • about me

Surga panas ; cerita hebat dari Palu'e

14/8/2013

4 Comments

 
Picture
Setelah setahun di Maumere, akhirnya berbekal ‘paksaan’ tugas saya berangkat ke pulau Palue. Mendengar nama Palue bagi orang Flores cukup membuat takut. Pada tahun 2010 terjadi kecelakaan kapal motor Karya Pinang di tanjung Watumanuk  yang berlabuh dari Palue menuju Maumere menewaskan 20-an jiwa dan 4 lainnya hingga kini belum ditemukan. Belum lagi kecelakaan-kecelakaan lain yang terjadi di jalur ini.  Keangkeran Palue sudah menjadi mitos sehari-hari orang Maumere jika saya berbincang dengan mereka. Adat masyarakat Palue sangat kuat sehingga selalu menjadi faktor vital untuk mengekang kesetiaan dan kecintaan mereka pada tanah leluhur mereka ini.

Palue sendiri sebenarnya adalah gunung laut setinggi 3000 m dengan 875 m daratan yang muncul di permukaan laut. Daratan inilah yang kita sebut dengan pulau Palue dan kawasan puncak serta kawah vulkanik di atasnya dinamakan gunung Rokatenda. Pada tahun 1928, letusan Rokatenda terjadi sangat dahsyat bahkan menimbulkan gelombang tsunaminya sendiri. Para masyarakat menyelamatkan diri dengan turun ke kawasan pantai tetapi tersapu oleh gelombang tsunami setinggi 5-7 m. Data mengatakan sekitar 200-an orang menjadi korban tetapi masyarakat setempat mengatakan hingga 1000 orang lebih yang tersapu oleh tsunami itu.

Pasca letusan besar disertai tsunami pada tahun 1928, Rokatenda ‘rehat’ selama 35 tahun lalu meletus kembali berkali-kali hingga pada letusan di tahun 1985 membuat kawah baru yang bagi orang setempat disebut Anak Rokatenda. Jika secara visual kita melihat pulau Palue, maka puncak tertinggi tersebut bukanlah pusat letusan melainkan kawah di bawahnya. 10 bulan terakhir ini aktivitas Rokatenda semakin tinggi dan letusan terakhir membawa 6 orang korban tewas yang tersapu oleh awan panas saat mereka tidur di pantai tepat pada 10 Agustus 2013 pukul 04.00 WITA.


Palue berada di utara kabupaten Ende berhadapan dengan kota Ropa dan Maurole, dapat ditempuh sekitar 1-1,5 jam perjalanan laut. Secara administratif, Palue masuk di kabupaten Sikka dengan jarak 4-5 jam perjalanan di sebelah barat laut kota kabupaten Maumere.


Pada bulan Agustus 2012 lalu, akhirnya saya (mau nggak mau, ngeri campur ‘excited’) berangkat dari pelabuhan Maumere menuju Palue untuk pengambilan gambar dokumenter yang sedang saya kerjakan. 1 minggu penuh saya berkeliling pulau ini. Sebelumnya saya hanya bisa melihat dari Ropa (Ende Utara) dan dalam hati saya berniat untuk suatu saat memberanikan diri menginjakkan kaki di Palue. Pagi itu, doa saya akhirnya terealisir.

Jam 07.30 pagi kami bertolak dari pelabuhan Maumere dengan menggunakan perahu motor keceil bermesin ganda. Tak banyak penumpang saat itu. Jadwal perahu motor ini selang seling yaitu Senin-Rabu-Jumat adalah Maumere-Palue, Selasa-Kamis-Sabtu adalah Palue-Maumere. Minggu tidak ada pelayaran demi ibadah.

Masyarakat Palue 100% menganut Katolik. Perjalanan ini akan menuju barat laut kota Maumere berjarak 4-5 jam perjalanan. Awalnya saya gugup dan takut dengan kegoyangan kapal yang saya tumpangi tetapi tak lama pupus oleh keindahan daratan Flores dan birunya laut Flores yang terkadang melewati kawasan atol berpasir putih dan warna laut hijau tosca. Saya tak takut lagi dan terus menimati perjalanan ini tanpa lupa mengabadikannya dengan  video dan foto.

Jam 12 siang kamipun bersandar di pelabuhan Palue di dekat Puskesmas. Saat itu dermaga sedang dibangun. Pantainya indah luar biasa, berpasir putih dan bening. Warna pantai ala Bora Borapun menyambut kami dengan cantiknya. Ongkosnya sangat sangat murah hanya dengan 20 ribu rupiah sekali jalan. Alamak, saya bingung juga dengan bisnis si pemilik kapal apakah untung dgn ongkos segitu dan solar yang harus mengisi 2 mesin selama 4-5 jam? Ah sudahlah, mungkin bagi mereka rejeki itu cukup.


Palue sendiri terdiri dari 8 desa dengan 2 desa berada di pantai yakni Maluriwu dan Rokirole, 5 desa di lereng dan arah puncak Rokatenda dan 1 desa terpisah sendiri di bagian selatan yakni desa Lidi yang hanya bisa diakses lewat laut selama 25 menit dari kecamatan. Kehidupan di sana sebenarnya terasa mirip dengan masyarakat di daratan Flores (Maumere). Rumah bambu, berkontur bukit dan masyarakatnya memakai kain ikat tenun lokal dengan motif khas Palue. Bahasanyapun berbeda, lebih mirip dengan bahasa Lio yang banyak digunakan oleh masyarakat Ende.

Penduduknya sangat ramah-ramah. Setiap saya berkunjung mereka akan menyuguhkan kopi. Banyak cerita yang saya dapatkan dari mereka. Di sana kebanyakan penduduk adalah lansia dan anak-anak. Masyarakat setempat mengatakan bahwa kaum mudanya bekerja di Malaysia (wilayah Kalimantan) dan akan pulang pada saat-saat tertentu. Kaum nelayan biasanya akan berlayar hingga Selayar (Sulawesi Tenggara) atau ke daerah Ngada (kabupaten di pulau Flores). Saya bahkan bertemu 2 bekas nelayan dengan kondisi tangan buntung terkena bom ikan.

1 hari saya habiskan di desa Lidi. Desa ini sebenarnya wilayah Palue yang terdekat dengan daratan Flores tetapi jika diakses dari 7 desa lainnya harus melalui laut. Jika nekad berjalan kaki maka tidak kurang dari 3 jam harus menempuh medan berbatu, mendaki dan curam. 3 jam adalah kecepatan masyarakat Lidi jadi bisa kita bayangkan yang tidak biasa akan menempuh rute ini lebih lama lagi. Saya berangkat pagi dengan perahu motor dari dermaga di Uwa menuju Lidi. Sekitar 20 menit perjalanan akhirnya saya tiba di dermaga Lidi. Kemudian saya berjalan kaki mendaki sekitar 2 km menuju kantor kepala desa. Sisa longsor dari perbukitan tampak jelas di jalur perjalanan serta tanaman jambu mente yang sedang berbuah. Jalan di sini disebut RABAT, lebarnya hanya 2 m dengan aspal atau semen putih.

Akhirnya sayapun tiba di kantor desa. Dari kantor desa saya bisa melihat laut Flores di kejauhan. Angin gunung semilir segar menemani perbincangan kami di bawah sebuah pohon besar di belakang kantor desa. Kopi, rokok dan tawa adalah bagian utama dari suasana indah ini. Kemudian saya menyewa ojek lokal menuju dusun paling atas di desa ini. Rutenya luar biasa bikin adrenalin meninggi. Motor dipacu gigi 1 tanpa berganti dan mendaki terus. 15 menit perjalanan ini melebihi rollercoaster rasanya karena melewati tikungan tajam curam dan diselingi dengan jurang di kedua sisi. Saya seakan menyerahkan nyawa pada si abang ojek. Akhirnya saya tiba di dusun tersebut. Banyak sekali orang tua dan anak-anak. Debu-debu yang terbawa dari gunung Rokatendapun menyapu setiap ada angin berhembus. Di kesederhanaan dusun ini tampak goa Maria yang cukup megah. Penduduk sini menawarkan saya untuk ke mata air panas tetapi karena kapal sudah menunggu akhirnya saya urung.

Saya dijamu makan oleh mereka dan juga MOKE. Aha, saya bertanya kenapa mereka memiliki MOKE? Moke adalah arak yang dibuat dari lontar muda, sangat populer di Maumere. Sementara adat Palue melarang mereka untuk membuat moke tetapi boleh membuat tuak putih. Mereka bilang mereka baru beli dari Maumere, lumayan untuk menghangatkan tubuh di malam hari. Tampak juga beberapa gadis setempat bermain voli di lapangan yang digaris dengan tali rafia dengan net sederhana. Ternyata mereka sedang latihan untuk 17 Agustus nanti. Bagi saya, mereka punya bakat yang sangat potensial untuk dijadikan atlet. Oh ya, saya sempat menghabiskan 1 sore saya bermain voli dengan teman-teman dari Reruwairere di depan kantor kecamatan. 3 set pertandingan bagi saya sudah melelahkan tetapi tidak bagi mereka dengan service aduhai dan smash yang tak bisa dianggap remeh. Perjalanan di desa Lidi inipun saya akhiri dan tentu dengan ojek yang sama. Jangan tanya rasanya bagaimana. Ngeri 3x lipat dari perjalanan naik. Turun ke dermaga benar-benar membuat saya diam seribu bahasa. Antara menikmati pemandangan dan juga memikirkan akhirat.

Perjalanan yang paling dramatis bagi saya adalah ke desa Kesukoja. Desa ini ditempuh dengan motor melalui rabat sempit mendaki selama 20 menit. Tikungan tajam dan curam melewati jurang-jurang saya jalani demi mencapai bukit Golgata. Bukit ini disebut demikian karena terdapat sebuah salib besar setinggi 6 m. Di sini terdapat penyulingan panas bumi. Sore itu saya tiba dengan harapan dapat melihat sunset dan anak-anak yang mengambil air. Setelah berjalan mendaki curam sejauh 500m, akhirnya saya tiba di POA (tempat air) Kesukoja ini. Tampak banyak bambu dijejal ke bukit panas dan di ujungnya terlihat tetesan air yang ditampung dalam wadah-wadah. Anak-anak kecil ada yang bermain dan ada juga tampak melihat sesekali ke dalam corong bambu. Ternyata mereka sedang ‘merebus’ ubi dan pisang. Benar saja, hanya 15 menit kita sudah bisa memakan ubi dan pisang yang direbus di dalam bambu itu. Airnya terasa murni sekali. Bukit ini mengeluarkan uap panas. Tampak di beberapa tempat terlihat tanah basah. Jika demikian maka penduduk akan menancapkan bambu di sana lalu mulai menunggu uap tersebut menjadi tetesan air. Setelah menikmati senja, saya diajak ke rumah salah satu penduduk untuk menikmati kopi. Kopi yang diseduh dengan air murni ini ternyata punya rasa yang luar biasa unik. Dimasak dengan kayu api dan diseduh panas-panas melengkapi perjalanan saya hari itu. 

Listrik di pulau ini hanya bisa dinikmati selama 4 jam saja yakni dari pukul 18.00 hingga 20.00. Listrik ini dioperasikan dengan genset swadaya berbahan solar. Jika ada acara atau pesta, maka si empunya hajatan akan membayar operator genset untuk menyalakan listrik lebih lama dari biasanya, tentu ini tidak setiap hari. Saat itu kami akan menghabiskan malam terakhir di Uwa, kami membayar 20 ribu rupiah agar operator bersedia menyalakan genset hingga pukul 2 pagi. Listrik yang lebih lama menyala hanya ada di kantor kecamatan. Meskipun tidak 24 jam tetapi di siang hari kita bisa menumpang pakai di sana. 

Sumber air tidak ada di pulau ini. Sebagian besar masyarakat bergantung pada bak-bak penampung air hujan. Jika musim hujan, maka mereka tidak perlu kuatir dengan stok air tetapi dengan kapasitas tampung sebesar 6 kubik, air ini akan habis dalam beberapa bulan saja (tergantung jumlah anggota keluarga dan kebutuhan pemakaian). Terdapat 2-3 air sumur di desa pantai tetapi airnya payau cenderung asin. Air suling terdapat di 2 lokasi yakni desa Kesukoja, yang berada di perbukitan sekitar desa dan di desa Rokirole yang terletak persis di desanya. Terkadang mereka membeli air bersih dari Maumere ataupun Ropa dan Maurole. 

Rata-rata mereka hidup dari berkebun. Kacang hijau dan ubi adalah komoditas lokal mereka dan setelah saya mencicipi, kualitasnya sungguh hebat. Di Maumere sendiri ubi dan kacang hijau Palue sudah terkenal enak. Selain itu, sebagian masyarakat hidup dari melaut. 

Dengan segala keterbatasan dan resiko bencana alam yang di sana, masyarakat Palue tetap berpegang pada adat-istiadat yang kuat. Kecintaan dan keteguhan ini yang tidak masuk pada logika sebagian besar kita. Kenapa tetap bertahan? Pulau ini tidak layak huni kenapa tidak pindah? Tidak ada air tidak ada listrik, apa yang dipertahankan? Begitulah pertanyaan yang berlomba-lomba akan kita tanyakan pada mereka. Sayapun menanyakan langsung alasan kenapa mereka bertahan. Mereka mengatakan bahwa bukan sekali dua kali saja mereka mencoba relokasi di daerah lain tetapi janggal rasanya karena mereka sudah menyatu dengan tanah air mereka. Beberapa waktu lalu ketika mereka dipindahkan ke Mauemre, mereka tidak tahu harus beraktifitas seperti apa. Mereka tetap rindu untuk bekerja di kebun mereka sendiri, menikmati apa yang ada seperti biasanya mereka miliki. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata yang jelas singkat dan padat bagimana hati dan jwa mereka sudah menyatu dengan akar budaya dan kehidupan mereka. Sesaat saya mengabaikan logika umum, jika saya dipaksa untuk keluar dari rumah saya dan tinggal di tempat baru, kemungkinan sayapun akan bersikap seperti mereka. Tak terhitung guncangan gempa, panas ataupun kondisi vulkanis yang fluktuatif harus mereka alami setiap hari (sayapun mengalami beberapa tremor saat di sana) tetapi bagi mereka sikon-sikon seperti ini sudah seperti bagian dari hidup mereka.

Letusan terakhir pada Sabtu subuh, 10 Agustus 2013 silam akhirnya menjatuhkan korban jiwa. 6 orang tewas terkena aliran awan panas (pyroclastic flow) atau orang Merapi menyebutnya wedus gembel saat mereka berbaring di pantai beristirahat. Pola aliran yang sebelumnya tidak terjadi namun pagi itu angin meniupkan arah letusan Rokatenda tidak seperti biasanya. 4 desa yakni Rokirole, Ladolaka, Nitunglea dan Tuanggeo sudah mulai dikosongkan karena kondisinya memang sudah tidak mungkin dihuni saat ini. Desa lain seperti Maluriwu dan Reruwairere yang berada di pesisir dan terlindungi oleh beberapa perbukitan dan lembah saat ini masih yang paling minim terdampak letusan namun patut diingat peristiwa 1928 di mana tsunami menyapu habis kedua desa ini. Desa Lidi yang berada di Tenggara pulau saat ini memang masih tidak parah tetapi beberapa tahun lalu banjir lahar dingin juga menyerbu desa ini dan menyebabkan korban jiwa akibat longsor parah. Kesimpulannya adalah tidak ada satupun wilayah yang 100% aman dari potensi bencana alam Rokatenda. Sekarang yang kita harapkan adalah kajian komprehensif tentang masa depan masyarakat Palue. Pemerintah sebagai garda pemangku kebijakan harus berinisiatif memformulasikan solusi yang paling baik untuk semua pihak. 

Keindahan, keramahan, nilai hidup dan inspirasi yang saya dapat dari alam dan masyarakat Palue menjadi salah satu cerita hebat yang tak kan putus saya syukuri. Suatu saat tentu akan ada waktu di mana saya ingin kembali menyapa dan merasakan lagi hal-hal yang pernah saya lalui di sana. 

wiwi lele lama wara, lidi main bola lidi lele'a le'a de - bergotong royong seia sekata bahu membahu menuju kebaikan dalam perdamaian (disampaikan oleh Aloysius Lande Sinde - kepala desa Lidi)



p.s. bisa lihat album foto pulau Palue yang sempat saya ambil di https://www.facebook.com/broadcast97/media_set?set=a.10151149397474674.465689.668779673&

4 Comments

Lantern worshiped, worship disturbed...

31/5/2013

1 Comment

 
Picture
After a long time desirous plan to witness the Great Vesak at the Borobudur Temple, I finally made it. 
 
As Buddhist center in Indonesia, Borobudur is certainly the main target of many people to come to see Buddhist ceremony or celebration. Vesak is the greatest events celebrated at this largest Buddhist temple in the world.
 
Vesak is celebrated every year in solemn and reverent vibe as Galungan for Hindus in Bali, Eid prayers for Moslems or Good Friday for Christians. Galungan in Bali is publicly open for public, but under strict surveillance of Pecalang (Balinese police). Christian and Islamic holidays are usually not so open or attended as a tourist event. Vesak, at a poin has tremendous appeal, especially this year and the session that most awaited is 'flying lanterns'.

Last year, Vesak ceremony at Borobudur Temple attended by so many people and mostly were not Buddhist. Lanterns and  full moon scenery  have been a great story to tell, at least written by number of people were present at the time. This also make a lot of people come  to Magelang to  witness it with huge expectations. But what happened then beyond the expectations of many people, heavy rains flushed the area Borobudur and lantern session cancelled. That's a brief summary of what happened on the last Saturday.
 
There is a restlessness in me when religious rituals become attraction (only) for many people. From what I saw last night at Borobudur, really sad to see the visitors who looked tired coming only for Vesak lanterns regardless of the actual religious meaning. They seemed to forget that the event was a prayer, sacred and religious event.
 
 
Mass buildup at the entrance of the temple area and at the courtyard of the temple and it was unbelievably heavy. Most have prepared themselves with tickets, hotels booking and lodging, rental vehicles and certainly with cameras. All seemed to compete (with fury) to be able to capture the moment as their main targets. It was seemingly no more sense and sensitivity to the context of the event, there was no politeness to respect the people who go there to pray and there was no reluctance to disturb. They are very ambitious to get their pictures (might be for simply personal collection) and forget about ethics. Flash lights up, talks, or stepping in to the worship lines and even when a monk asked them to respect the praying time they seemed ignorant. There was no empathy anymore if it was done on them. I overheard some people complained. They worried that lantern session will be cancelled due to the weather.

Vesak is a worship that is following a sequential praying steps . From taking up the eternal flame at Mrapen, holy water in Temanggung until lodged it at Mendut temple  (about 2 miles from the Borobudur temple) for a night. The next morning would be taken in procession to the Borobudur temple by walking. People not allowed to talk and this procession snaking row until they arrive at Borobudur temple. After that, each tent will take place for praying. I was following a sermon in  Walubi tent and it was interesting because the Priest delivered it with relax yet sacred way. In the evening all the people will gather in the courtyard of Borobudur for final prayer.
 
Last night was pretty disappointing because the Minister of Religious Affairs who wwould give opening remarks came late and his presence was welcomed with the audience cheered "Huuuuu ...". The committee  asked the audience to remain calm and silent. Followed by the arrival of the Governor of Central Java which then had campaigned on his speech for Java gubernatorial election that will take place in the next day. For me that was a silly slapstick, using religious moment for political agenda. I think the committee was patient enough with all that going on and trying to keep the show running solemn (but failed nevertheless).
 
I skipped Pradaksina (walking around the Borobudur temple three times) because it was too crowded in the west side of the temple. I am concerned with the disruption of worship that should be sacred but the celebration of Vesak that night was noisy with many sound. I decided to get out of the temple to return to Yogyakarta.
 
Many angers I faound on social media criticizing the behaviour of the people who were there as visitor. After I did some browsing on internet, I found there was a blog (from one of the Buddhists if I'm not mistaken) which raised about the commercialization of Vesak. I strongly agree with what he writes but I am really sad to see other people's comment that even thankful they were not there as a sign of anti-commercialization of Vesak. For me it's just silly. If we are polite and thoughtful, concerned to see how a religious ritual, why not? Do we come there just solely to see the lanterns 'show'? Don't we want to see a procession that happens once a year? Do not we want to appreciate the difference? We always promote ourselves as people who respect inter-faith? So for the commentators who feel 'lucky' not to come after reading the blog, I actually ask what their motivation is.
 
I will not stop my chance to attend Vesak at Borobudur because my goal is not just the lantern . Not at all! I learned a lot in Bali we can learn and appreciate other religion by their ritual and ceremony. There are so many rituals in Bali like marriage, cremation, cutting teeth,Mlasti, the day of silence, etc. We are required to dress modestly, in whites, with sarong and a loin cloth. It's more than okay to join their rituals as long as we can respect their rules and not disturb them.
 
Anyone who attended the last Vesak with various effort to witness the 'lantern', please do not be disappointed. We can feed our experience to see Vesak as a virtuous eventand we should be able to put in place the actual context of the ceremony. Remember, our Buddhist friends have only one reason to be there, to celebrate a religious day. 

Thousands of candles can be lighted from a single candle, and the life of the candle will not be shortened. Happiness never decreases by being shared. ~ Buddha ~

may all beings be happy
Happy Vesak-
Sadhu Sadhu Sadhu

1 Comment

    Archives

    August 2013
    May 2013

    Categories

    All

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.