Setelah setahun di Maumere, akhirnya berbekal ‘paksaan’ tugas saya berangkat ke pulau Palue. Mendengar nama Palue bagi orang Flores cukup membuat takut. Pada tahun 2010 terjadi kecelakaan kapal motor Karya Pinang di tanjung Watumanuk yang berlabuh dari Palue menuju Maumere menewaskan 20-an jiwa dan 4 lainnya hingga kini belum ditemukan. Belum lagi kecelakaan-kecelakaan lain yang terjadi di jalur ini. Keangkeran Palue sudah menjadi mitos sehari-hari orang Maumere jika saya berbincang dengan mereka. Adat masyarakat Palue sangat kuat sehingga selalu menjadi faktor vital untuk mengekang kesetiaan dan kecintaan mereka pada tanah leluhur mereka ini.
Palue sendiri sebenarnya adalah gunung laut setinggi 3000 m dengan 875 m daratan yang muncul di permukaan laut. Daratan inilah yang kita sebut dengan pulau Palue dan kawasan puncak serta kawah vulkanik di atasnya dinamakan gunung Rokatenda. Pada tahun 1928, letusan Rokatenda terjadi sangat dahsyat bahkan menimbulkan gelombang tsunaminya sendiri. Para masyarakat menyelamatkan diri dengan turun ke kawasan pantai tetapi tersapu oleh gelombang tsunami setinggi 5-7 m. Data mengatakan sekitar 200-an orang menjadi korban tetapi masyarakat setempat mengatakan hingga 1000 orang lebih yang tersapu oleh tsunami itu.
Pasca letusan besar disertai tsunami pada tahun 1928, Rokatenda ‘rehat’ selama 35 tahun lalu meletus kembali berkali-kali hingga pada letusan di tahun 1985 membuat kawah baru yang bagi orang setempat disebut Anak Rokatenda. Jika secara visual kita melihat pulau Palue, maka puncak tertinggi tersebut bukanlah pusat letusan melainkan kawah di bawahnya. 10 bulan terakhir ini aktivitas Rokatenda semakin tinggi dan letusan terakhir membawa 6 orang korban tewas yang tersapu oleh awan panas saat mereka tidur di pantai tepat pada 10 Agustus 2013 pukul 04.00 WITA.
Palue berada di utara kabupaten Ende berhadapan dengan kota Ropa dan Maurole, dapat ditempuh sekitar 1-1,5 jam perjalanan laut. Secara administratif, Palue masuk di kabupaten Sikka dengan jarak 4-5 jam perjalanan di sebelah barat laut kota kabupaten Maumere.
Pada bulan Agustus 2012 lalu, akhirnya saya (mau nggak mau, ngeri campur ‘excited’) berangkat dari pelabuhan Maumere menuju Palue untuk pengambilan gambar dokumenter yang sedang saya kerjakan. 1 minggu penuh saya berkeliling pulau ini. Sebelumnya saya hanya bisa melihat dari Ropa (Ende Utara) dan dalam hati saya berniat untuk suatu saat memberanikan diri menginjakkan kaki di Palue. Pagi itu, doa saya akhirnya terealisir.
Jam 07.30 pagi kami bertolak dari pelabuhan Maumere dengan menggunakan perahu motor keceil bermesin ganda. Tak banyak penumpang saat itu. Jadwal perahu motor ini selang seling yaitu Senin-Rabu-Jumat adalah Maumere-Palue, Selasa-Kamis-Sabtu adalah Palue-Maumere. Minggu tidak ada pelayaran demi ibadah.
Masyarakat Palue 100% menganut Katolik. Perjalanan ini akan menuju barat laut kota Maumere berjarak 4-5 jam perjalanan. Awalnya saya gugup dan takut dengan kegoyangan kapal yang saya tumpangi tetapi tak lama pupus oleh keindahan daratan Flores dan birunya laut Flores yang terkadang melewati kawasan atol berpasir putih dan warna laut hijau tosca. Saya tak takut lagi dan terus menimati perjalanan ini tanpa lupa mengabadikannya dengan video dan foto.
Jam 12 siang kamipun bersandar di pelabuhan Palue di dekat Puskesmas. Saat itu dermaga sedang dibangun. Pantainya indah luar biasa, berpasir putih dan bening. Warna pantai ala Bora Borapun menyambut kami dengan cantiknya. Ongkosnya sangat sangat murah hanya dengan 20 ribu rupiah sekali jalan. Alamak, saya bingung juga dengan bisnis si pemilik kapal apakah untung dgn ongkos segitu dan solar yang harus mengisi 2 mesin selama 4-5 jam? Ah sudahlah, mungkin bagi mereka rejeki itu cukup.
Palue sendiri terdiri dari 8 desa dengan 2 desa berada di pantai yakni Maluriwu dan Rokirole, 5 desa di lereng dan arah puncak Rokatenda dan 1 desa terpisah sendiri di bagian selatan yakni desa Lidi yang hanya bisa diakses lewat laut selama 25 menit dari kecamatan. Kehidupan di sana sebenarnya terasa mirip dengan masyarakat di daratan Flores (Maumere). Rumah bambu, berkontur bukit dan masyarakatnya memakai kain ikat tenun lokal dengan motif khas Palue. Bahasanyapun berbeda, lebih mirip dengan bahasa Lio yang banyak digunakan oleh masyarakat Ende.
Penduduknya sangat ramah-ramah. Setiap saya berkunjung mereka akan menyuguhkan kopi. Banyak cerita yang saya dapatkan dari mereka. Di sana kebanyakan penduduk adalah lansia dan anak-anak. Masyarakat setempat mengatakan bahwa kaum mudanya bekerja di Malaysia (wilayah Kalimantan) dan akan pulang pada saat-saat tertentu. Kaum nelayan biasanya akan berlayar hingga Selayar (Sulawesi Tenggara) atau ke daerah Ngada (kabupaten di pulau Flores). Saya bahkan bertemu 2 bekas nelayan dengan kondisi tangan buntung terkena bom ikan.
1 hari saya habiskan di desa Lidi. Desa ini sebenarnya wilayah Palue yang terdekat dengan daratan Flores tetapi jika diakses dari 7 desa lainnya harus melalui laut. Jika nekad berjalan kaki maka tidak kurang dari 3 jam harus menempuh medan berbatu, mendaki dan curam. 3 jam adalah kecepatan masyarakat Lidi jadi bisa kita bayangkan yang tidak biasa akan menempuh rute ini lebih lama lagi. Saya berangkat pagi dengan perahu motor dari dermaga di Uwa menuju Lidi. Sekitar 20 menit perjalanan akhirnya saya tiba di dermaga Lidi. Kemudian saya berjalan kaki mendaki sekitar 2 km menuju kantor kepala desa. Sisa longsor dari perbukitan tampak jelas di jalur perjalanan serta tanaman jambu mente yang sedang berbuah. Jalan di sini disebut RABAT, lebarnya hanya 2 m dengan aspal atau semen putih.
Akhirnya sayapun tiba di kantor desa. Dari kantor desa saya bisa melihat laut Flores di kejauhan. Angin gunung semilir segar menemani perbincangan kami di bawah sebuah pohon besar di belakang kantor desa. Kopi, rokok dan tawa adalah bagian utama dari suasana indah ini. Kemudian saya menyewa ojek lokal menuju dusun paling atas di desa ini. Rutenya luar biasa bikin adrenalin meninggi. Motor dipacu gigi 1 tanpa berganti dan mendaki terus. 15 menit perjalanan ini melebihi rollercoaster rasanya karena melewati tikungan tajam curam dan diselingi dengan jurang di kedua sisi. Saya seakan menyerahkan nyawa pada si abang ojek. Akhirnya saya tiba di dusun tersebut. Banyak sekali orang tua dan anak-anak. Debu-debu yang terbawa dari gunung Rokatendapun menyapu setiap ada angin berhembus. Di kesederhanaan dusun ini tampak goa Maria yang cukup megah. Penduduk sini menawarkan saya untuk ke mata air panas tetapi karena kapal sudah menunggu akhirnya saya urung.
Saya dijamu makan oleh mereka dan juga MOKE. Aha, saya bertanya kenapa mereka memiliki MOKE? Moke adalah arak yang dibuat dari lontar muda, sangat populer di Maumere. Sementara adat Palue melarang mereka untuk membuat moke tetapi boleh membuat tuak putih. Mereka bilang mereka baru beli dari Maumere, lumayan untuk menghangatkan tubuh di malam hari. Tampak juga beberapa gadis setempat bermain voli di lapangan yang digaris dengan tali rafia dengan net sederhana. Ternyata mereka sedang latihan untuk 17 Agustus nanti. Bagi saya, mereka punya bakat yang sangat potensial untuk dijadikan atlet. Oh ya, saya sempat menghabiskan 1 sore saya bermain voli dengan teman-teman dari Reruwairere di depan kantor kecamatan. 3 set pertandingan bagi saya sudah melelahkan tetapi tidak bagi mereka dengan service aduhai dan smash yang tak bisa dianggap remeh. Perjalanan di desa Lidi inipun saya akhiri dan tentu dengan ojek yang sama. Jangan tanya rasanya bagaimana. Ngeri 3x lipat dari perjalanan naik. Turun ke dermaga benar-benar membuat saya diam seribu bahasa. Antara menikmati pemandangan dan juga memikirkan akhirat.
Perjalanan yang paling dramatis bagi saya adalah ke desa Kesukoja. Desa ini ditempuh dengan motor melalui rabat sempit mendaki selama 20 menit. Tikungan tajam dan curam melewati jurang-jurang saya jalani demi mencapai bukit Golgata. Bukit ini disebut demikian karena terdapat sebuah salib besar setinggi 6 m. Di sini terdapat penyulingan panas bumi. Sore itu saya tiba dengan harapan dapat melihat sunset dan anak-anak yang mengambil air. Setelah berjalan mendaki curam sejauh 500m, akhirnya saya tiba di POA (tempat air) Kesukoja ini. Tampak banyak bambu dijejal ke bukit panas dan di ujungnya terlihat tetesan air yang ditampung dalam wadah-wadah. Anak-anak kecil ada yang bermain dan ada juga tampak melihat sesekali ke dalam corong bambu. Ternyata mereka sedang ‘merebus’ ubi dan pisang. Benar saja, hanya 15 menit kita sudah bisa memakan ubi dan pisang yang direbus di dalam bambu itu. Airnya terasa murni sekali. Bukit ini mengeluarkan uap panas. Tampak di beberapa tempat terlihat tanah basah. Jika demikian maka penduduk akan menancapkan bambu di sana lalu mulai menunggu uap tersebut menjadi tetesan air. Setelah menikmati senja, saya diajak ke rumah salah satu penduduk untuk menikmati kopi. Kopi yang diseduh dengan air murni ini ternyata punya rasa yang luar biasa unik. Dimasak dengan kayu api dan diseduh panas-panas melengkapi perjalanan saya hari itu.
Listrik di pulau ini hanya bisa dinikmati selama 4 jam saja yakni dari pukul 18.00 hingga 20.00. Listrik ini dioperasikan dengan genset swadaya berbahan solar. Jika ada acara atau pesta, maka si empunya hajatan akan membayar operator genset untuk menyalakan listrik lebih lama dari biasanya, tentu ini tidak setiap hari. Saat itu kami akan menghabiskan malam terakhir di Uwa, kami membayar 20 ribu rupiah agar operator bersedia menyalakan genset hingga pukul 2 pagi. Listrik yang lebih lama menyala hanya ada di kantor kecamatan. Meskipun tidak 24 jam tetapi di siang hari kita bisa menumpang pakai di sana.
Sumber air tidak ada di pulau ini. Sebagian besar masyarakat bergantung pada bak-bak penampung air hujan. Jika musim hujan, maka mereka tidak perlu kuatir dengan stok air tetapi dengan kapasitas tampung sebesar 6 kubik, air ini akan habis dalam beberapa bulan saja (tergantung jumlah anggota keluarga dan kebutuhan pemakaian). Terdapat 2-3 air sumur di desa pantai tetapi airnya payau cenderung asin. Air suling terdapat di 2 lokasi yakni desa Kesukoja, yang berada di perbukitan sekitar desa dan di desa Rokirole yang terletak persis di desanya. Terkadang mereka membeli air bersih dari Maumere ataupun Ropa dan Maurole.
Rata-rata mereka hidup dari berkebun. Kacang hijau dan ubi adalah komoditas lokal mereka dan setelah saya mencicipi, kualitasnya sungguh hebat. Di Maumere sendiri ubi dan kacang hijau Palue sudah terkenal enak. Selain itu, sebagian masyarakat hidup dari melaut.
Dengan segala keterbatasan dan resiko bencana alam yang di sana, masyarakat Palue tetap berpegang pada adat-istiadat yang kuat. Kecintaan dan keteguhan ini yang tidak masuk pada logika sebagian besar kita. Kenapa tetap bertahan? Pulau ini tidak layak huni kenapa tidak pindah? Tidak ada air tidak ada listrik, apa yang dipertahankan? Begitulah pertanyaan yang berlomba-lomba akan kita tanyakan pada mereka. Sayapun menanyakan langsung alasan kenapa mereka bertahan. Mereka mengatakan bahwa bukan sekali dua kali saja mereka mencoba relokasi di daerah lain tetapi janggal rasanya karena mereka sudah menyatu dengan tanah air mereka. Beberapa waktu lalu ketika mereka dipindahkan ke Mauemre, mereka tidak tahu harus beraktifitas seperti apa. Mereka tetap rindu untuk bekerja di kebun mereka sendiri, menikmati apa yang ada seperti biasanya mereka miliki. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata yang jelas singkat dan padat bagimana hati dan jwa mereka sudah menyatu dengan akar budaya dan kehidupan mereka. Sesaat saya mengabaikan logika umum, jika saya dipaksa untuk keluar dari rumah saya dan tinggal di tempat baru, kemungkinan sayapun akan bersikap seperti mereka. Tak terhitung guncangan gempa, panas ataupun kondisi vulkanis yang fluktuatif harus mereka alami setiap hari (sayapun mengalami beberapa tremor saat di sana) tetapi bagi mereka sikon-sikon seperti ini sudah seperti bagian dari hidup mereka.
Letusan terakhir pada Sabtu subuh, 10 Agustus 2013 silam akhirnya menjatuhkan korban jiwa. 6 orang tewas terkena aliran awan panas (pyroclastic flow) atau orang Merapi menyebutnya wedus gembel saat mereka berbaring di pantai beristirahat. Pola aliran yang sebelumnya tidak terjadi namun pagi itu angin meniupkan arah letusan Rokatenda tidak seperti biasanya. 4 desa yakni Rokirole, Ladolaka, Nitunglea dan Tuanggeo sudah mulai dikosongkan karena kondisinya memang sudah tidak mungkin dihuni saat ini. Desa lain seperti Maluriwu dan Reruwairere yang berada di pesisir dan terlindungi oleh beberapa perbukitan dan lembah saat ini masih yang paling minim terdampak letusan namun patut diingat peristiwa 1928 di mana tsunami menyapu habis kedua desa ini. Desa Lidi yang berada di Tenggara pulau saat ini memang masih tidak parah tetapi beberapa tahun lalu banjir lahar dingin juga menyerbu desa ini dan menyebabkan korban jiwa akibat longsor parah. Kesimpulannya adalah tidak ada satupun wilayah yang 100% aman dari potensi bencana alam Rokatenda. Sekarang yang kita harapkan adalah kajian komprehensif tentang masa depan masyarakat Palue. Pemerintah sebagai garda pemangku kebijakan harus berinisiatif memformulasikan solusi yang paling baik untuk semua pihak.
Keindahan, keramahan, nilai hidup dan inspirasi yang saya dapat dari alam dan masyarakat Palue menjadi salah satu cerita hebat yang tak kan putus saya syukuri. Suatu saat tentu akan ada waktu di mana saya ingin kembali menyapa dan merasakan lagi hal-hal yang pernah saya lalui di sana.
wiwi lele lama wara, lidi main bola lidi lele'a le'a de - bergotong royong seia sekata bahu membahu menuju kebaikan dalam perdamaian (disampaikan oleh Aloysius Lande Sinde - kepala desa Lidi)
p.s. bisa lihat album foto pulau Palue yang sempat saya ambil di https://www.facebook.com/broadcast97/media_set?set=a.10151149397474674.465689.668779673&
Palue sendiri sebenarnya adalah gunung laut setinggi 3000 m dengan 875 m daratan yang muncul di permukaan laut. Daratan inilah yang kita sebut dengan pulau Palue dan kawasan puncak serta kawah vulkanik di atasnya dinamakan gunung Rokatenda. Pada tahun 1928, letusan Rokatenda terjadi sangat dahsyat bahkan menimbulkan gelombang tsunaminya sendiri. Para masyarakat menyelamatkan diri dengan turun ke kawasan pantai tetapi tersapu oleh gelombang tsunami setinggi 5-7 m. Data mengatakan sekitar 200-an orang menjadi korban tetapi masyarakat setempat mengatakan hingga 1000 orang lebih yang tersapu oleh tsunami itu.
Pasca letusan besar disertai tsunami pada tahun 1928, Rokatenda ‘rehat’ selama 35 tahun lalu meletus kembali berkali-kali hingga pada letusan di tahun 1985 membuat kawah baru yang bagi orang setempat disebut Anak Rokatenda. Jika secara visual kita melihat pulau Palue, maka puncak tertinggi tersebut bukanlah pusat letusan melainkan kawah di bawahnya. 10 bulan terakhir ini aktivitas Rokatenda semakin tinggi dan letusan terakhir membawa 6 orang korban tewas yang tersapu oleh awan panas saat mereka tidur di pantai tepat pada 10 Agustus 2013 pukul 04.00 WITA.
Palue berada di utara kabupaten Ende berhadapan dengan kota Ropa dan Maurole, dapat ditempuh sekitar 1-1,5 jam perjalanan laut. Secara administratif, Palue masuk di kabupaten Sikka dengan jarak 4-5 jam perjalanan di sebelah barat laut kota kabupaten Maumere.
Pada bulan Agustus 2012 lalu, akhirnya saya (mau nggak mau, ngeri campur ‘excited’) berangkat dari pelabuhan Maumere menuju Palue untuk pengambilan gambar dokumenter yang sedang saya kerjakan. 1 minggu penuh saya berkeliling pulau ini. Sebelumnya saya hanya bisa melihat dari Ropa (Ende Utara) dan dalam hati saya berniat untuk suatu saat memberanikan diri menginjakkan kaki di Palue. Pagi itu, doa saya akhirnya terealisir.
Jam 07.30 pagi kami bertolak dari pelabuhan Maumere dengan menggunakan perahu motor keceil bermesin ganda. Tak banyak penumpang saat itu. Jadwal perahu motor ini selang seling yaitu Senin-Rabu-Jumat adalah Maumere-Palue, Selasa-Kamis-Sabtu adalah Palue-Maumere. Minggu tidak ada pelayaran demi ibadah.
Masyarakat Palue 100% menganut Katolik. Perjalanan ini akan menuju barat laut kota Maumere berjarak 4-5 jam perjalanan. Awalnya saya gugup dan takut dengan kegoyangan kapal yang saya tumpangi tetapi tak lama pupus oleh keindahan daratan Flores dan birunya laut Flores yang terkadang melewati kawasan atol berpasir putih dan warna laut hijau tosca. Saya tak takut lagi dan terus menimati perjalanan ini tanpa lupa mengabadikannya dengan video dan foto.
Jam 12 siang kamipun bersandar di pelabuhan Palue di dekat Puskesmas. Saat itu dermaga sedang dibangun. Pantainya indah luar biasa, berpasir putih dan bening. Warna pantai ala Bora Borapun menyambut kami dengan cantiknya. Ongkosnya sangat sangat murah hanya dengan 20 ribu rupiah sekali jalan. Alamak, saya bingung juga dengan bisnis si pemilik kapal apakah untung dgn ongkos segitu dan solar yang harus mengisi 2 mesin selama 4-5 jam? Ah sudahlah, mungkin bagi mereka rejeki itu cukup.
Palue sendiri terdiri dari 8 desa dengan 2 desa berada di pantai yakni Maluriwu dan Rokirole, 5 desa di lereng dan arah puncak Rokatenda dan 1 desa terpisah sendiri di bagian selatan yakni desa Lidi yang hanya bisa diakses lewat laut selama 25 menit dari kecamatan. Kehidupan di sana sebenarnya terasa mirip dengan masyarakat di daratan Flores (Maumere). Rumah bambu, berkontur bukit dan masyarakatnya memakai kain ikat tenun lokal dengan motif khas Palue. Bahasanyapun berbeda, lebih mirip dengan bahasa Lio yang banyak digunakan oleh masyarakat Ende.
Penduduknya sangat ramah-ramah. Setiap saya berkunjung mereka akan menyuguhkan kopi. Banyak cerita yang saya dapatkan dari mereka. Di sana kebanyakan penduduk adalah lansia dan anak-anak. Masyarakat setempat mengatakan bahwa kaum mudanya bekerja di Malaysia (wilayah Kalimantan) dan akan pulang pada saat-saat tertentu. Kaum nelayan biasanya akan berlayar hingga Selayar (Sulawesi Tenggara) atau ke daerah Ngada (kabupaten di pulau Flores). Saya bahkan bertemu 2 bekas nelayan dengan kondisi tangan buntung terkena bom ikan.
1 hari saya habiskan di desa Lidi. Desa ini sebenarnya wilayah Palue yang terdekat dengan daratan Flores tetapi jika diakses dari 7 desa lainnya harus melalui laut. Jika nekad berjalan kaki maka tidak kurang dari 3 jam harus menempuh medan berbatu, mendaki dan curam. 3 jam adalah kecepatan masyarakat Lidi jadi bisa kita bayangkan yang tidak biasa akan menempuh rute ini lebih lama lagi. Saya berangkat pagi dengan perahu motor dari dermaga di Uwa menuju Lidi. Sekitar 20 menit perjalanan akhirnya saya tiba di dermaga Lidi. Kemudian saya berjalan kaki mendaki sekitar 2 km menuju kantor kepala desa. Sisa longsor dari perbukitan tampak jelas di jalur perjalanan serta tanaman jambu mente yang sedang berbuah. Jalan di sini disebut RABAT, lebarnya hanya 2 m dengan aspal atau semen putih.
Akhirnya sayapun tiba di kantor desa. Dari kantor desa saya bisa melihat laut Flores di kejauhan. Angin gunung semilir segar menemani perbincangan kami di bawah sebuah pohon besar di belakang kantor desa. Kopi, rokok dan tawa adalah bagian utama dari suasana indah ini. Kemudian saya menyewa ojek lokal menuju dusun paling atas di desa ini. Rutenya luar biasa bikin adrenalin meninggi. Motor dipacu gigi 1 tanpa berganti dan mendaki terus. 15 menit perjalanan ini melebihi rollercoaster rasanya karena melewati tikungan tajam curam dan diselingi dengan jurang di kedua sisi. Saya seakan menyerahkan nyawa pada si abang ojek. Akhirnya saya tiba di dusun tersebut. Banyak sekali orang tua dan anak-anak. Debu-debu yang terbawa dari gunung Rokatendapun menyapu setiap ada angin berhembus. Di kesederhanaan dusun ini tampak goa Maria yang cukup megah. Penduduk sini menawarkan saya untuk ke mata air panas tetapi karena kapal sudah menunggu akhirnya saya urung.
Saya dijamu makan oleh mereka dan juga MOKE. Aha, saya bertanya kenapa mereka memiliki MOKE? Moke adalah arak yang dibuat dari lontar muda, sangat populer di Maumere. Sementara adat Palue melarang mereka untuk membuat moke tetapi boleh membuat tuak putih. Mereka bilang mereka baru beli dari Maumere, lumayan untuk menghangatkan tubuh di malam hari. Tampak juga beberapa gadis setempat bermain voli di lapangan yang digaris dengan tali rafia dengan net sederhana. Ternyata mereka sedang latihan untuk 17 Agustus nanti. Bagi saya, mereka punya bakat yang sangat potensial untuk dijadikan atlet. Oh ya, saya sempat menghabiskan 1 sore saya bermain voli dengan teman-teman dari Reruwairere di depan kantor kecamatan. 3 set pertandingan bagi saya sudah melelahkan tetapi tidak bagi mereka dengan service aduhai dan smash yang tak bisa dianggap remeh. Perjalanan di desa Lidi inipun saya akhiri dan tentu dengan ojek yang sama. Jangan tanya rasanya bagaimana. Ngeri 3x lipat dari perjalanan naik. Turun ke dermaga benar-benar membuat saya diam seribu bahasa. Antara menikmati pemandangan dan juga memikirkan akhirat.
Perjalanan yang paling dramatis bagi saya adalah ke desa Kesukoja. Desa ini ditempuh dengan motor melalui rabat sempit mendaki selama 20 menit. Tikungan tajam dan curam melewati jurang-jurang saya jalani demi mencapai bukit Golgata. Bukit ini disebut demikian karena terdapat sebuah salib besar setinggi 6 m. Di sini terdapat penyulingan panas bumi. Sore itu saya tiba dengan harapan dapat melihat sunset dan anak-anak yang mengambil air. Setelah berjalan mendaki curam sejauh 500m, akhirnya saya tiba di POA (tempat air) Kesukoja ini. Tampak banyak bambu dijejal ke bukit panas dan di ujungnya terlihat tetesan air yang ditampung dalam wadah-wadah. Anak-anak kecil ada yang bermain dan ada juga tampak melihat sesekali ke dalam corong bambu. Ternyata mereka sedang ‘merebus’ ubi dan pisang. Benar saja, hanya 15 menit kita sudah bisa memakan ubi dan pisang yang direbus di dalam bambu itu. Airnya terasa murni sekali. Bukit ini mengeluarkan uap panas. Tampak di beberapa tempat terlihat tanah basah. Jika demikian maka penduduk akan menancapkan bambu di sana lalu mulai menunggu uap tersebut menjadi tetesan air. Setelah menikmati senja, saya diajak ke rumah salah satu penduduk untuk menikmati kopi. Kopi yang diseduh dengan air murni ini ternyata punya rasa yang luar biasa unik. Dimasak dengan kayu api dan diseduh panas-panas melengkapi perjalanan saya hari itu.
Listrik di pulau ini hanya bisa dinikmati selama 4 jam saja yakni dari pukul 18.00 hingga 20.00. Listrik ini dioperasikan dengan genset swadaya berbahan solar. Jika ada acara atau pesta, maka si empunya hajatan akan membayar operator genset untuk menyalakan listrik lebih lama dari biasanya, tentu ini tidak setiap hari. Saat itu kami akan menghabiskan malam terakhir di Uwa, kami membayar 20 ribu rupiah agar operator bersedia menyalakan genset hingga pukul 2 pagi. Listrik yang lebih lama menyala hanya ada di kantor kecamatan. Meskipun tidak 24 jam tetapi di siang hari kita bisa menumpang pakai di sana.
Sumber air tidak ada di pulau ini. Sebagian besar masyarakat bergantung pada bak-bak penampung air hujan. Jika musim hujan, maka mereka tidak perlu kuatir dengan stok air tetapi dengan kapasitas tampung sebesar 6 kubik, air ini akan habis dalam beberapa bulan saja (tergantung jumlah anggota keluarga dan kebutuhan pemakaian). Terdapat 2-3 air sumur di desa pantai tetapi airnya payau cenderung asin. Air suling terdapat di 2 lokasi yakni desa Kesukoja, yang berada di perbukitan sekitar desa dan di desa Rokirole yang terletak persis di desanya. Terkadang mereka membeli air bersih dari Maumere ataupun Ropa dan Maurole.
Rata-rata mereka hidup dari berkebun. Kacang hijau dan ubi adalah komoditas lokal mereka dan setelah saya mencicipi, kualitasnya sungguh hebat. Di Maumere sendiri ubi dan kacang hijau Palue sudah terkenal enak. Selain itu, sebagian masyarakat hidup dari melaut.
Dengan segala keterbatasan dan resiko bencana alam yang di sana, masyarakat Palue tetap berpegang pada adat-istiadat yang kuat. Kecintaan dan keteguhan ini yang tidak masuk pada logika sebagian besar kita. Kenapa tetap bertahan? Pulau ini tidak layak huni kenapa tidak pindah? Tidak ada air tidak ada listrik, apa yang dipertahankan? Begitulah pertanyaan yang berlomba-lomba akan kita tanyakan pada mereka. Sayapun menanyakan langsung alasan kenapa mereka bertahan. Mereka mengatakan bahwa bukan sekali dua kali saja mereka mencoba relokasi di daerah lain tetapi janggal rasanya karena mereka sudah menyatu dengan tanah air mereka. Beberapa waktu lalu ketika mereka dipindahkan ke Mauemre, mereka tidak tahu harus beraktifitas seperti apa. Mereka tetap rindu untuk bekerja di kebun mereka sendiri, menikmati apa yang ada seperti biasanya mereka miliki. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata yang jelas singkat dan padat bagimana hati dan jwa mereka sudah menyatu dengan akar budaya dan kehidupan mereka. Sesaat saya mengabaikan logika umum, jika saya dipaksa untuk keluar dari rumah saya dan tinggal di tempat baru, kemungkinan sayapun akan bersikap seperti mereka. Tak terhitung guncangan gempa, panas ataupun kondisi vulkanis yang fluktuatif harus mereka alami setiap hari (sayapun mengalami beberapa tremor saat di sana) tetapi bagi mereka sikon-sikon seperti ini sudah seperti bagian dari hidup mereka.
Letusan terakhir pada Sabtu subuh, 10 Agustus 2013 silam akhirnya menjatuhkan korban jiwa. 6 orang tewas terkena aliran awan panas (pyroclastic flow) atau orang Merapi menyebutnya wedus gembel saat mereka berbaring di pantai beristirahat. Pola aliran yang sebelumnya tidak terjadi namun pagi itu angin meniupkan arah letusan Rokatenda tidak seperti biasanya. 4 desa yakni Rokirole, Ladolaka, Nitunglea dan Tuanggeo sudah mulai dikosongkan karena kondisinya memang sudah tidak mungkin dihuni saat ini. Desa lain seperti Maluriwu dan Reruwairere yang berada di pesisir dan terlindungi oleh beberapa perbukitan dan lembah saat ini masih yang paling minim terdampak letusan namun patut diingat peristiwa 1928 di mana tsunami menyapu habis kedua desa ini. Desa Lidi yang berada di Tenggara pulau saat ini memang masih tidak parah tetapi beberapa tahun lalu banjir lahar dingin juga menyerbu desa ini dan menyebabkan korban jiwa akibat longsor parah. Kesimpulannya adalah tidak ada satupun wilayah yang 100% aman dari potensi bencana alam Rokatenda. Sekarang yang kita harapkan adalah kajian komprehensif tentang masa depan masyarakat Palue. Pemerintah sebagai garda pemangku kebijakan harus berinisiatif memformulasikan solusi yang paling baik untuk semua pihak.
Keindahan, keramahan, nilai hidup dan inspirasi yang saya dapat dari alam dan masyarakat Palue menjadi salah satu cerita hebat yang tak kan putus saya syukuri. Suatu saat tentu akan ada waktu di mana saya ingin kembali menyapa dan merasakan lagi hal-hal yang pernah saya lalui di sana.
wiwi lele lama wara, lidi main bola lidi lele'a le'a de - bergotong royong seia sekata bahu membahu menuju kebaikan dalam perdamaian (disampaikan oleh Aloysius Lande Sinde - kepala desa Lidi)
p.s. bisa lihat album foto pulau Palue yang sempat saya ambil di https://www.facebook.com/broadcast97/media_set?set=a.10151149397474674.465689.668779673&